Ilmu Budaya Dasar
BAB 8
v MANUSIA DAN PANDANGAN
HIDUP
A.
Pengertian Pandangan Hidup
Setiap manusia memiliki pandangan hidup. Pandangan hidup
itu bersifat kodrati, karena itu pandangan hidup menentukan masa depan
seseorang. Pandangan hidup artinya pendapat atau pertimbangan yang dijadikan
pegangan, pedoman, arahan, petunjuk hidup didunia. Pendapat atau pertimbangan
itu merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman sejarah menurut
waktu dan tempat hidupnya. Pandangan hidup tidak timbul seketika atau dalam
waktu singkat, melainkan melalui proses waktu yang cukup lama dan terus –
menerus, sehingga hasil pemikiran itu dapat diuji kebenarannya. Hasil
pemikirann itu dapat diterima oleh akal, sehingga diakui kebenarannya. Atas
dasar inilah manusia menerima hasil pemikiran itu sebagai peganganm pedoman,
arahan atau petunjuk yang disebut pandangan hidup.
Pandangan hidup banyak sekali macam dan ragamnya. Akan
tetapi pandangan hidup dapat diklasifikasikan berdasarkan asalnya yang terdiri
dari 3 macam, yakni ;
1.
Pandangan hidup
yang berasal dari agama yaitu pandangan hidup yang mutlak kebenarannya
2.
Pandangan hidup
yang berupa ideologi yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma yang terdapat
pada negara tersebut
3.
Pandangan hidup
hasil renungan yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya
Pandangan hidup pada dasarnya mempunyai unsur – unsur,
yaitu cita – cita, kebajikan, usaha dan keyakinan atau kepercayaan. Keempat
unsur ini merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan.
B.
Cita - Cita
Cita – cita merupakan pandangan masa depan, merupakan
pandangan hidup yang akan datang. Dengan kata lain, cita – cita merupakan
keinginan, harapan, dan tujuan manusia yang makin tinggi tingkatannya. Dapat
atau tidaknya seseorang mencapai cita – cita bergantung pada 3 faktor, seperti
yang akan menjadi pembahasan selanjutnya.
Faktor manusia yang mau mencapai cita – cita ditentukan
oleh kualitas manusianya. Ada orang yang tidak berkemauan, sehingga apa yang
dicita – citakan hanya merupakan khayalan saja. Sebaliknya ada orang yang
berkemauan keras ingin mencapai apa yang dicita – citakan, cita – cita
merupakan motivasi atau dorongan dalam menempuh hidup untuk mencapainya. Cara
keras dalam mencapai cita – cita merupakan suatu perjuangan hidup yang bila
berhasil akan menjadikan dirinya puas.
Faktor kondisi yang mempengaruhi tercapainya cita – cita,
pada umumnya dapat disebut yang menguntungkan dan yang menghambat. Faktor yang
menguntungkan merupakan kondisi yang memperlancar tercapainya suatu cita –
cita, sedangkan faktor yang menghambat merupakan kondisi yang merintangi
tercapainya suatu cita – cita.
Faktor tingginya cita – cita yang merupakan faktor ketiga
dalam mencapai cita – cita. Seperti ada dianjurkan agar seseorang
menggantungkan cita – citanya setinggi bintang di langit. Tetapi hal ini
ditentukan oleh bagaimana faktor manusianya, mampukah yang bersangkutan
mencapainya, dan demikian juga faktor kondisinya memungkinkan hal itu. Apakah
dapat merupakan pendorong atau penghalang cita – cita.
C.
Kebajikan
Kebajikan atau kebaikan atau perbuatan yang mendatangkan
kebaikan pada hakekatnya sama dengan perbuatan moral, perbuatan yang sesuai
dengan norma – norma agama dan etika.
Sebagai makhluk pribadi, manusia dapat menentukan sendiri
apa yang baik dan apa yang buruk. Baik buruk itu ditentukan oleh suara hati.
Suara hati sendiri adalah semacam bisikan di dalam hati yang mendesak seseorang
untuk menimbang dan menentukan baik buruknya suatu perbuatan, tindakan atau
tingkah laku. Jadi, suara hati dapat merupakan hakim untuk diri sendiri. Suara
hati selalu memilih yang baik, sebab itu ia selalu mendesak orang untuk berbuat
yang baik bagi dirinya. Sebaliknya, apabila seolah – olah kita tidak
mendengarkan suara hati itu, maka munafiklah kita.
Kebajikan manusia nyata dan dapat dirasakan dalam tingkah
lakunya. Karena tingkah laku bersumber pada pandangan hidup, maka setiap orang
memiliki tingkah lakunya sendiri – sendiri, sehingga tingkah laku setiap orang
berbeda – beda. Faktor – faktor yang dapat menentukan tingkah laku setiap orang
ada 3 hal, diantaranya ;
1.
Faktor Pembawaan (
Hereditas )
2.
Faktor Lingkungan (
Environtment )
3.
Faktor Pengalaman
D.
Usaha atau Perjuangan
Usaha atau perjuangan adalah kerja keras untuk mewujudkan
cita – cita. Setiap manusia harus kerja keras untuk kelanjutan hidupnya. Tanpa
usaha atau perjuangan, manusia tidak hidup sempurna, karena perjuangan untuk
hidup sudah merupakan kodrat manusia.
Kerja keras pada dasarnya menghargai dan meningkatkan
harkat dan martabat manusia. Sebaliknya pemalas membuat manusia itu miskin,
melarat, dan berarti menjatuhkan harkat dan martabatnya sendiri. Karena itu
tidak boleh bermalas – malasan, bersantai – santai dalam hidup ini. Santai dan
istirahat ada waktunya sendiri, dan manusia yang mengatur waktunya itu.
E.
Keyakinan atau Kepercayaan
Keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar pandangan
hidup berasal dari akal atau kekuasaan Tuhan. Menurut ahli, Prof. Dr. Harun
Naustion, ada tiga aliran filsafat, diantaranya adalah ;
1.
Aliran Naturalisme
Dasar aliran ini
adalah Keyakinan
2.
Aliran
Intelektualisme
Dasar aliran ini
adalah Logika atau Akal
3.
Aliran gabungan
Dasar aliran ini
adalah Kekuatan gaib dan juga Akal
F.
Langkah – Langkah Berpandangan Hidup Yang Baik
Manusia pasti mempunyai pandangan hidup walau
bagaimanapun bentuknya. Bagaimana kita memperlakukan pandangan hidup itu
tergantung pada orang yang bersangkutan. Akan tetapi yang terpenting, kita
harus mempunyai langkah – langkah berpandangan hidup agar kita dapat
memperlakukan pandangan hidup itu sendiri sebagai sarana untuk mencapai tujuan
dan cita – cita dengan baik. Adapun langkah – langkahnya adalah sebagai berikut
;
1.
Mengenal
2.
Mengerti
3.
Menghayati
4.
Meyakini
5.
Mengabdi
6.
Mengamankan
v bab
8 – artikel terkait -
mANUSIA DAN pandangan hidup
Beda Pandangan Soal Uang Merusak
Hubungan
Penulis
: Wardah Fazriyati | Kamis, 1 November 2012 | 15:07 WIB
Pertengkaran pasangan soal yang disebabkan sejumlah faktor, termasuk
kepribadian finansial yang berlawanan.
KOMPAS.com - Pasangan menikah dengan perencanaan keuangan keluarga yang baik
bukan satu-satunya syarat meraih kebahagiaan dalam hubungan. Boleh jadi, saat
ini Anda dan suami sudah memiliki tabungan yang cukup, dana pensiun yang
terencana dengan baik, dan arus kas rumah tangga yang terkontrol. Namun semua
hal ini tak menjamin kebahagiaan dalam hubungan.
Penting
bagi pasangan untuk memiliki cara pandang yang lebih luas soal keuangan.
Pandangan Anda dan dia soal uang punya pengaruh besar terhadap setiap keputusan
yang pasangan ambil terkait kebutuhan rumah tangga dan keluarga.
Coba
ingat kembali, seberapa sering Anda dan suami beradu argumen soal uang.
Perbicangan soal makan siang saja bisa memicu pertengkaran, jika cara pandang
Anda dan dia soal uang berbeda. Contohnya, saat Anda bertanya pada suami
mengenai menu makan siangnya, dia mengatakan makan siang salad seharga Rp
100.000 misalnya. Bagi Anda, salad seharga tersebut terlalu mahal, dan hal ini
pun memicu pertengkaran kecil yang jika terakumulasi bisa merusak hubungan
dalam jangka panjang.
Pertengkaran
pasangan soal uang umumnya dipengaruhi tiga faktor ini:
1. Kepribadian keuangan
Coba
perhatikan karakter anak-anak dalam menggunakan uangnya. Si A yang memiliki
kepribadian si penabung dan si B yang berkepribadian si pebelanja. Si B
kesulitan menyimpan uangnya untuk masa depan, sementara si A takkan menggunakan
uangnya kecuali terpaksa atau bahkan dipaksa.
Perbedaan kepribadian terkait uang ini juga didapati pada orang dewasa. Anda
dan suami pun memiliki kepribadian yang bisa jadi sama atau berbeda. Ada lima
kepribadian terkait uang: si hemat, si boros, pengambil risiko, si cari aman,
si coba-coba.
Setiap orang bisa memiliki 2-5 kepribadian tersebut dalam dirinya. Karenanya
penting bagi pasangan untuk saling memahami kepribadian terkait uang, mana
kepribadian utama Anda dan dia, dan kepribadian pendukungnya. Pahami perbedaan
kepribadian soal uang ini agar Anda dan dia lebih mampu mengatasi potensi
pertengkaran soal uang.
2. Pandangan
hidup.
Lima
kepribadian soal uang tadi ada hubungannya dengan perspektif seseorang tentang
kehidupan. Uang selalu ada kaitannya dengan setiap keputusan yang Anda ambil.
Dengan kata lain, kepribadian Anda soal uang memengaruhi perspektif Anda
tentang hidup.
Si
boros cenderung royal memberikan hadiah. Sementara si hemat selalu memanfaatkan
kesempatan penawaran yang menguntungkannya. Bagi si pengambil risiko, ia takkan
banyak pertimbangan dalam menggunakan uangnya. Sedangkan si cari aman selalu
penuh perencanaan. Bagi si coba-coba, ia takkan membiarkan persoalan uang
memengaruhinya dalam mengambil keputusan.
Sekali
lagi, dengan memahami perbedaan perspektif yang ada hubungannya dengan
kepribadian soal uang ini, Anda dan pasangan bisa saling memahami. Sehingga
pertengkaran karena uang pun bisa diminimalisasi.
3. Kepribadian
berlawanan.
Nah,
ketika Anda menikah dengan seseorang yang memiliki kepribadian berlawanan,
inilah yang menjadi pemicu pertengkaran finansial pada pasangan. Faktanya, 75
persen pasangan menikah memiliki kepribadian finansial yang berlawanan. Tak
heran jika 70 persen penyebab perceraian dipicu persoalan uang.
Meski
begitu, menikah dengan seseorang yang memiliki kepribadian finansial berlawanan
tak selamanya berpotensi merusak hubungan. Selalu ada alasan di balik perbedaan
tersebut bukan? Adalah tugas Anda dan pasangan untuk mentoleransi perbedaan
tersebut, menerimanya dan berusaha saling menyesuaikan, bukan berusaha
menyatukan apalagi memaksakan kehendak kepada satu dengan lainnya.
Tanggapan :
Perbedaan
pandangan hidup seseorang memang berbeda-beda. Dari perbedaan pandangan setiap
orang ini dapat menimbulkan kekacauan. Salah satu dari berbagai macam kasus
soal pandangan hidup ini adalah perbedaan pandangan dalam berumah tangga yakni
mengenai keuangan yang berakibat dapat merusak hubungan dalam berumah
tangga.
Sudah
dijelaskan dalam article diatas bahwa kepribadian mempengaruhi pandangan hidup
seseorang. Dengan kata lain, jika seorang suami dan istri yang memiliki
kepribadian dan pandangan hidup yang sama, yang sama-sama tidak memiliki
keinginan untuk berboros, keuangan dapat dijaga dan tidak menimbulkan
permasalahan.
Salah
satu solusi dari pandangan hidup seseorang yang berbeda ini adalah dengan
memahami perbedaan perspektif yang ada hubungannya dengan kepribadian soal uang
ini, pasangan bisa saling memahami. Sehingga pertengkaran karena uang pun bisa
diminimalisasi.
Jadi,
jika salah satu dari Anda yang memiliki perbedaan pandangan mengenai keuangan
atau apapun perbedaan pandangan tersebut, dapat dibicarakan dengan baik dan
harus saling memaham
Manusia dan
Pandangan Hidup (Kasus Terorisme)
Terorisme
adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror
terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak
tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba
dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk
kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal
atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga
mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak
berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para
pelakunya (“teroris”) layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan
“teroris” dan “terorisme”, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai
separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan
lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : “Makna sebenarnya dari
jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk
sipil padahal tidak terlibat dalam perang”. Padahal Terorisme sendiri sering
tampak dengan mengatasnamakan agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh
negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti
dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori
itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya
bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris
terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan
fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga
melanggar konvensi yang telah disepakati.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi
aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New
York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai
“September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara,
tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik
perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika
Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya
ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade
Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari
itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang
lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar,
meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan
massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu
Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon,
Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas
dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris
mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan
penyerangan terhadap “Simbol Amerika”. Namun, gedung yang mereka serang tak
lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi
dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430
perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika
Serikat tapi juga dunia. Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai
tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan
politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi
untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal
tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional.
Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12
Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar
di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang
terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari
sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama mengeluarkan
Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001, diikuti
tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan
perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan
Anti Terrorism Bill.
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di
antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention
of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means
the use of violence for political ends and includes any use of violence for the
purpose putting the public or any section of the public in fear.” Kegiatan
Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga
dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa.
Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat
ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata
psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan
ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa
masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror.
Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror
justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama,
maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror
tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai
psy-war.
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum
Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang
identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan
pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian
Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif, hal mana
didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme
tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum.
Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang
pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana
Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui
European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa,
makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu
sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State
(termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota
keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban
adalah masyarakat sipil. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation
of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang
meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah
(Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat
tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta
dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi.
Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan
destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan
keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind). Menurut
Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau
mala in se , tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against
conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh
Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong
atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan
karena diatur demikian oleh Undang-Undang.
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak
jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk
Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta
pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy)
disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan
yang dikategorikan sebagai Terorisme.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh
suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh
Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah
untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana
pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi
prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan
perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal
ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak
cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia
merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi
Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di
samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat
bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena:
Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di
dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan
pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak
Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk
Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap
perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan
untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan
suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan
proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami
kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15
tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat
pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [[(lex specialis
derogat lex generalis)]]. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis,
harus memenuhi kriteria:
bahwa pengecualian
terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang
setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
bahwa pengecualian
termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga
pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian
yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi
Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat
dilakukan melalui banyak cara, seperti:
Melalui sistem evolusi
berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
Melalui sistem global
melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum
acaranya.
Sistem kompromi dalam
bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus
dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai
wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian
bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan
tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih
besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan
bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan
yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam
buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan
pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana
materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus
diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan
asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan
untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal
25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum
acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan
asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada
kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang
tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara
Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila
dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar
penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat
dengan Hak Asasi Manusia. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang
yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan
pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun
dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur
oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu
perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai
dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas penuntutan
kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan
terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan
Bukti Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan
itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas
mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di
antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam
pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi:
Untuk memperoleh Bukti
Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen.
Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang
cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan
oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.Proses pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3
(tiga) hari.Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri
segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang
pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang
dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen,
apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3
dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan
oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme
pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen
mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang
yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan
masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan
terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap
hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu
gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan
ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai
pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja
yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana
sebenarnya hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti
Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan
wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan
kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan
Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah
diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan
dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini
penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara
mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya,
oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah
terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan
maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang
bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan
saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia.
Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada
penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror.
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi
Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang
digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh
dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini
diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary
detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru
dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses
interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal
seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus
diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus
dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir,
bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme,
tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia.
Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan
sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga
bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan.
Terorisme di Indonesia
Rangkaian Serangan Bom di Indonesia 2000-2009
Tahun 2000
* Bom Kedubes Filipina,
Jakarta 2000. 1 Agustus 2000, bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di
depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21
orang lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday.
* Bom Kedubes Malaysia,
Jakarta 2000. 27 Agustus 2000, granat meledak di kompleks Kedutaan Besar
Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
* Bom Gedung Bursa Efek
Jakarta 2000. 13 September 2000, ledakan mengguncang lantai parkir P2 Gedung
Bursa Efek Jakarta. 10 orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka. 104 mobil rusak
berat, 57 rusak ringan.
* Bom malam Natal 2000. 24
Desember 2000, serangkaian ledakan bom pada malam Natal di beberapa kota di
Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta mengakibatkan
37 mobil rusak.
Tahun 2001
* Bom Plaza Atrium Senen,
Jakarta 2001. 23 September 2001, bom meledak di kawasan Plaza Atrium, Senen,
Jakarta. 6 orang cedera.
* Bom Restoran KFC,
Makassar 2001. 12 Oktober 2001, ledakan bom mengakibatkan kaca, langit-langit,
dan neon sign KFC pecah. Tidak ada korban jiwa. Sebuah bom lainnya yang
dipasang di kantor MLC Life cabang Makassar tidak meledak.
* Bom sekolah Australia,
Jakarta 2001. 6 November 2001, bom rakitan meledak di halaman Australian
International School (AIS), Pejaten, Jakarta.
Tahun 2002
Bom Bali Pertama
* Bom malam Tahun Baru
2002. 1 Januari 2002, Granat manggis meledak di depan rumah makan ayam
Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya luka-luka. Di Palu,
Sulawesi Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja. Tidak ada korban
jiwa.
* Bom Bali 2002. 12
Oktober 2002, tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang mayoritas warga
negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan, di
Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina,
tidak ada korban jiwa.
* Bom Restoran McDonald’s
Makassar 2002. 5 Desember 2002, bom rakitan yang dibungkus wadah pelat baja
meledak di restoran McDonald’s Makassar. 3 orang tewas dan 11 luka-luka.
Tahun 2003
Bom JW Marriott 2003
* Bom Kompleks Mabes
Polri, Jakarta 2003. 3 Februari 2003, bom rakitan meledak di lobi Wisma
Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
* Bom Bandara Cengkareng,
Jakarta 2003. 27 April 2003, bom meledak dii area publik di terminal 2F, bandar
udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka berat dan
8 lainnya luka sedang dan ringan.
* Bom JW Marriott 2003. 5
Agustus 2003, bom menghancurkan sebagian hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang
meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.
Tahun 2004
* Bom cafe, Palopo 2004,
terjadi pada 10 Januari 2004 di Palopo, Sulawesi menewaskan empat orang. (BBC)
* Bom Kedubes Australia
2004, 9 September 2004, ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar
Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Ledakan juga
mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara Plaza 89,
Menara Grasia, dan Gedung BNI. (Lihat pula: Bom Kedubes Indonesia, Paris 2004)
* Ledakan bom di Gereja
Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada 12 Desember 2004.
Tahun 2005
* Dua Bom meledak di Ambon
pada 21 Maret 2005
* Bom Pamulang, Tangerang
2005, 8 Juni 2005, bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan
Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat. Tidak
ada korban jiwa.
* Bom Bali 2005, 1 Oktober
2005, bom kembali meledak di Bali. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102
lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJA’s Bar dan Restaurant,
Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran.
* Pemboman Palu 2005, 31
Desember 2005, bom meledak di sebuah pasar di Palu, Sulawesi Tengah yang
menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang.
Tahun 2009
* Bom Jakarta 2009, 17
Juli 2009, dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton,
Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 7.00 WIB.
Sebagai catatan saja selama kurun waktu 2005 -2009 semasa pemerintahan
SBY-JK relatif tidak ada bom, namun di akhir masa pemerintahan mereka diwarnai
bom yang terjadi di tempat yang sama JW Marriott. Semoga di masa masa mendatang
Indonesia diwarnai kedamaian tanpa adanya serangan teror dan pertikaian lagi
seterusnya dan dengan ditangkap dan tewasnya beberapa pelaku teroris akan kah
rantai aksi terorisme di Indonesia akan berakhir kita juga patut memberi
apresiasi dan pujian terhadap kinerja Densus 88 atas kerja kerasnya yang telah
berhasil mengungkap aksi terorisme oleh karena itu kita sebagai masyarakat
harus membantu pihak kepolisian untuk memberantas aksi terorisme sampai keakar
akarnya karena aksi tersebut sangat mencoreng citra bangsa Indonesia dimata
dunia internasional dan juga dampak dari terorisme tersebut sangat merugikan
rakyat sudah berapa banyak nyawa melayang dan kerugian materi akibat dari ulah
orang yang tidak bertanggung jawab jangan rusak bangsa ini dengan terorisme.
karena bangsa Indonesia cinta damai sesuai dengan asas Bhineka Tunggal Ika.