Perjalanan Kasus Antasari Azhar, Dari Bertemu Caddy Golf Hingga Bebas Bersyarat
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar menjalani aktivitas di salah satu Kantor Notaris di Kawasan Tangerang, Banten, Rabu (18/11/2015).
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Terpidana kasus pembunuhanAntasari Azhar akan bebas bersyarat, Kamis (10/11/2016). Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu akan bebas dari Lapas Tangerang setelah menjalani dua pertiga masa pidana.
Pada tahun 2009, Antasari Azhar divonis 18 tahun penjara atas pembunuhan bos PT Putra Rajawali Bantaran, Nasrudin Zulkarnain.
Mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, hingga peninjauan kembali, Antasari dinyatakan bersalah.
Berikut perjalanan kasus Antasari:
- 14 Maret 2009, Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen tewas ditembak di dalam mobil sedan dengan nomor polisi B 191 E seusai bermain golf di Padang Golf Modernland, Tanggerang.
- 4 Mei 2009, Antasari ditetapkan tersangka oleh polisi setelah penyidik memeriksa para tersangka. Penetapan tersangka Antasari disampaikan Kapolda Metro Jaya yang saat itu dijabat Irjen Pol Wahyono. Menurut polisi, pembunuhan Nasrudin bermula dari terkuaknya pertemuan antara Antasari dan seorang caddy golf bernama Rani Juliani di Kamar 803 Hotel Grand Mahakam, Jakarta Selatan.
- 4 Mei 2009, Antasari ditahan di rumah tahanan Narkoba Polda Metro Jaya.
- 7 Mei 2009, Antasari diberhentikan sementara sebagai pimpinan KPK. Keputusan Presiden pemberhentian sementara Antasari ditandatangani Presiden ketika itu Susilo Bambang Yudhoyono.
- 25 Agustus 2009, perkara Antasari dilimpahkan ke Kejaksaan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh jaksa.
- 28 September 2009, kasus Antasari dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk disidangkan.
- 8 Oktober 2009, sidang perdana kasus Antasari digelar dengan agenda pembacaan dakwaan.
- 11 Oktober 2009, Antasari diberhentikan secara tetap dari jabatannya oleh Presiden.
- 19 Januari 2010, Antasari dituntut hukuman mati oleh jaksa yang dipimpin Cirus Sinaga. Jaksa menganggap Antasari terbukti terlibat bersama-sama terdakwa lain membunuh Nasrudin.
- 11 Feb 2010, Antasari divonis 18 tahun penjara oleh majelis hakim yang dipimpin Herry Swantoro dengan anggota Nugroho Setiadji dan Prasetyo Ibnu Asmara.
- 17 Juni 2010, putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta Selatan. Majelis hakim banding diketuai Muchtar Ritonga dengan hakim anggota NY Putu Supadmi dan I Putu Widnya.
- 21 September 2010, kasasi Antasari dan JPU ditolak Mahkamah Agung. Vonis Antasari tetap 18 tahun penjara. Putusan dijatuhkan majelis hakim dengan Ketua Artidjo Alkotsar serta anggota Mugihardjo dan Suryadjaja.
- 3 Januari 2011, Antasari dipindah dari Rutan Narkoba Polda Metro Jaya ke Lapas Cipinang. Namun, pada hari yang sama, ia dipindahkan ke Lapas Tangerang.
- 13 Februari 2012, Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan Antasari. Putusan itu diambil majelis hakim dengan Ketua Harifin A Tumpa serta anggota Djoko Sarwoko, Prof Komariang E Sapardjaja, Imron Anwari, dan M Hatta Ali.
- 6 Maret 2014, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Pasal 268 ayat 3 KUHAP yang diajukan Antasari. Dengan putusan MK itu, peninjauan kembali bisa dilakukan lebih dari sekali.
- 14 Agustus 2015, Antasari mulai menjalani asimilasi setelah menjalani setengah masa pidana.\
- Antasari bekerja di kantor notaris Handoko Salim di Tangerang. Setiap hari kerja, yaitu Senin sampai Jumat, Antasari berangkat ke kantor notaris dari lapas dan mulai kerja pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Selama di luar lapas, Antasari mendapat pengawalan ketat dari pihak lapas.
- 10 November 2016, Antasari bebas bersyarat setelah melewati dua pertiga masa pidana.
Bebas Bersyarat
Seperti namanya bebas bersyarat, tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat disebut bebas.
Pembebasan bersyarat dikenal di hampir semua sistem peradilan pidana. Sistem hukum di Inggris dan Amerika Serikat mengenalnya dengan sebutan parole, sedangkan di Belanda menyebutnya vervroegde invrijheidstelling.
Memang dalam hukum positif di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sudah secara tegas mengamanatkan bahwa setiap narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
Kemudian Undang-Undang Pemasyarakatan tersebut dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang di inisiasi oleh Menteri Hukum dan HAM Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yakni Amir Syamsuddin.
Kemudian tata cara pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 21 Tahun 2016 tentang Perubahan Permenkumham Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
"Pemerintahan SBY yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1 melahirkan sejumlah peraturan-peraturan progresif yang berdampak cukup signifikan, secara khusus kepada sistem pemasyarakatan di Indonesia," ucap saya sambil mengingat kembali prestasi pemerintahan SBY saat periode pertamanya.
Saat itu terjadi over capacity di hampir seluruh Lapas di Indonesia. Andi Matalatta sebagai Menteri Hukum dan HAM saat itu menelurkan peraturan yang memudahkan pemberian Pembebasan Bersyarat melalui PERMENKUMHAM No. M.2.PK.04-10 Tahun 2007.
Menkumham saat itu ingin mengakhiri paradigma memelihara napi selama mungkin di penjara, yang salah satu dampaknya adalah over capacity tadi.
Sebelum dikeluarkan peraturan menteri tersebut, pembebasan bersyarat memiliki rumusan yang berbeda.
Salah satu yang diubah adalah pembebasan bersyarat yang sebelumnya dihitung sejak tanggal vonis pidananya di pengadilan menjadi terhitung sejak seorang narapidana ditahan, lalu dikurangi masa remisi dan hasilnya dihitung masa 2/3 nya. Itulah waktu jatuh tempo pembebasan bersyarat.
Hingga saat ini, pembebasan bersyarat menggunakan rumusan tersebut, sehingga dampak yang dirasakan adalah tujuan pemidanaan untuk memberikan kesempatan bagi narapidana melakukan resosialisasi dan dapat diterima oleh masyarakat lebih cepat.
Pada tahun 2008, tepatnya satu tahun setelah dikeluarkannya produk hukum kementerian hukum dan HAM mengenai pembebasan bersyarat tersebut, Dirjen Pemasyarakatan Depkumham yang dibawah pimpinan Untung Sugiyono saat itu menyatakan bahwa negara berhasil menghemat anggaran sebesar Rp 89,2 miliar.
Dari program masa pemerintahan SBY tersebut, biaya makan dapat dihemat hingga Rp 81,5 miliar dan dari indeks biaya kesehatan besaran penghematannya mencapai Rp 7,76 miliar.
Hal tersebut karena jumlah penerima pembebasan bersyarat pada tahun 2008 mencapai 16.728 napi.
Bisa dicabut
Secara umum, pembebasan bersyarat memberi hak kepada seorang napi untuk menjalani masa hukuman di luar tembok penjara.
Sesungguhnya pembebasan bersyarat ini bernilai edukatif, maksudnya adalah dengan memberi kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya.
Namun bukan berarti tanpa syarat dan menghilangkan status terpidana-nya, seseorang yang memperoleh pembebasan bersyarat harus tetap mematuhi sejumlah kewajiban yang masih melekat dalam dirinya sebagai seorang terpidana.
Apabila Antasari sebagai salah satu narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat tidak mematuhi aturan main yang telah tertulis di beberapa peraturan perundang-undangan, bukan tidak mungkin SK pembebasan bersyaratnya dapat dicabut.
"Sebagai catatan, pada tahun 2011 terdapat 298 orang narapidana yang dicabut SK Pembebasan Bersyaratnya dari 36.366 orang narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat," kataku menambahkan.
"Apa fakta yang dapat dijadikan bukti untuk mencabut bebas bersyarat?" tanya Plantino lagi.
"Salah satu penyebab dapat dicabutnya SK Pembebasan Bersyarat seseorang narapidana adalah dimana seorang narapidana menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Memang tolak ukur suatu keresahan yang ditimbulkan seperti apa dan cakupannya seluas apa tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan," saya jelaskan agak panjang.
"Jadi, kalau begitu apabila framing yang diciptakan oleh media sosial seperti beberapa contoh di atas dapat menimbulkan keresahan dan bukan tidak mungkin akan memperkeruh iklim politik di Indonesia, sehingga akan menjadi kerugian tersendiri bagi Antasari Azhar," tanya Plantino lagi.
"Ya begitulah. Oleh karena itu, jauh lebih bijak untuk tidak mampolitisasi bebas bersyaratnya Pak Antasari Azhar," kataku menyimpulkan jawaban pendek kepadanya.
Bebas bersyarat menurut perundangan bukan berarti sudah bebas sepenuhnya justru ada aturan main didalamnya yang pada taraf tertentu kebebasan bersyaratnya tersebut dapat ditarik kembali jika menimbulkan kegaduhan yang dapat memicu terganggunya ketertiban umum. Tentu hal itu akan langsung merugikan Antasari Azhar itu sendiri.
Pasal 16 ayat 3 KUHP mengingatkan bahwa atas perintah jaksa tempat dimana dia berada, orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat- syarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.
Ketertiban umum yang dimaksud mengharuskan agar yang dinyatakan bebas bersyarat itu menjaga ucapan dan menahan diri dalam memberikan pernyataan ke media yang dapat berpotensi menimbulkan kegaduhan yang dapat mengganggu ketertiban umum itu sendiri.
Apalagi menebar rumor-rumor politik yang menyatakan kasus Antasari Azhar dengan menyudutkan kelompok tertentu sehingga ada kelompok masyarakat yang tersinggung dan dapat memicu ketidaktertiban umum.
Memberitakan kasus Antasari Azhar sebagai korban kriminalisasi masa lalu tidak elok dan tidak pas, karena fakta hukum sudah selesai dituntaskan dan dijalani tinggal menunggu syarat bebas sedikit lagi menjadi benar-benar bebas.
Itulah makna bebas bersyarat, ada syarat syarat untuk dilakoni agar bebas menjadi penuh. Bebas bersyarat adalah jembatan menuju bebas yang sesungguhnya.
Pendapat :
Saya tidak terlalu mengikuti kelanjutan kasus Antasari Azhar. Tapi saya masih ingat proses persidangannya lebih dari tujuh tahun lalu. Saya ingat ada kekecewaan atas sistem hukum kita dalam mengungkap kebenaran dan menjatuhkan hukuman. Tujuh tahun, tentu sudah banyak hal terjadi dalam kehidupan kita dalam kurun waktu itu. Tujuh tahun Antasari mendekam di Lapas Tangerang, Banten, juga rasanya banyak yang sudah di terjadi di sana.Sedikit yang saya tahu dari konferensi pers bebas bersyarat Antasari Azhar pagi ini tepat di Hari Pahlawan, 10 November 2016, entah ada kaitannya atau tidak, waktu pembebasan bersyarat ini.
Saya tak bisa menahan diri menulis pendapat pribadi tentang bebas bersyarat Antasari Azhar. Entah apa yang membawa saya ingin segera menulis ini setelah berbagi opini pribadi di status Facebook. Yang pasti berita pagi ini membuat saya menulis lagi di Kompasiana setelah absen lebih dari tiga bulan.
Barangkali karena saya merasakan energi keikhlasan yang diucapkan Antasari Azhar saat jumpa pers. Sungguh tak mudah belajar ilmu ikhlas. Saya bisa katakan itu karena saya masih belajar ikhlas, dan pernah merasakan nikmat dan berkahnya ikhlas saat kehilangan anak semata wayang sekitar 100 hari lalu. Jadi, kata ikhlas yang dikeluarkan Antasari Azhar begitu keluar dari lapas, dan bagaimana dia memproses keikhlasan lewat perenungan dan membaca buku, sungguh menyentuh hati saya. Kenapa? Karena itulah juga yang saya lakukan untuk menjadi orang yang ikhlas dengan apa pun yang sudah Tuhan gariskan dalam perjalanan hidup kita.
Perenungan dan membaca buku menjadi jalan menuju keikhlasan yang sungguh menenteramkan. Saya tidak bisa bilang mana lebih berat, perjalanan keikhlasan Antasari Azhar dalam penjara dan tidak bisa menikmati utuh momen bahagia bersama keluarga atas pernikahan kedua anaknya hingga lahirnya tiga cucu dalam kurun waktu tujuh tahun lebih, atau saya yang harus berpisah selamanya dengan anak 3,5 tahun, anak semata wayang yang dinanti kehadirannya lebih dari empat tahun. Yang pasti dipenjara 7,5 tahun karena taat hukum, meski belum tentu bersalah, tidak bisa dikatakan perjalanan yang mudah. Akhirnya, empati menentukan bagaimana orang lain memandang perjalanan Antasari Azhar ini. Hanya empati, karena fakta atau kebenaran terlalu samar, relatif, setiap orang punya pembenaran masing-masing. Persepsi bisa dibentuk dengan berbagai latar belakang dan kepentingan. Pada akhirnya kembali kepada empati bagaimana kita memandang dan berkomentar atas suatu persoalan.
Saya tak mau terjebak dalam kasus Antasari Azhar. Hanya saya saya melihat akan terjadi pergesekan antara keikhlasan “terseret lagi” Antasari karena kasusnya memang tingkat berat, ada pihak lain yang barangkali “menuntutnya” menuntaskan perkara. Meski barangkali di mata Antasari dan keluarganya, mereka yang paham hukum, sudah berusaha sekuat tenaga dan masih saja kalah. Seorang Antasari, penegak hukum yang tahu hukum, tahu bagaimana membela dirinya, mengungkap fakta, masih bisa terpenjara. Rasanya wajar kalau keluarga merasa pasrah dengan sistem penegakan hukum kita. Lalu bagaimana dengan pihak yang merasa tak puas? Entahlah, barangkali empati yang bisa menjawabnya atau barangkali harus mereview pelajaran keikhlasan.
Saya kok merasa sedih ketika Antasari dan keluarga yang sudah ikhlas dari proses perenungan di penjara dan membaca buku (entah buku apa saja yang dibacanya), kemudian akan bisa terseret lagi dalam perkara karena pihak lain yang masih ingin mengungkap fakta dan menjebloskan atau menghukum orang yang benar-benar bersalah. Meski Antasari Azhar sudah menyatakan biarkan Tuhan yang menghukumnya, dan dia sudah ikhlas dan meninggalkan semua urusan dendam di dalam lapas.
Simak saja kata-kata Antasari Azhar ini:
“Remisi sudah dilakukan sejak 2010, 4 tahun 6 bulan. Jadi 12 tahun, dua per tiga dari 18 tahun hak napi mendapatkan bebas bersyarat… Saya mau masuk penjara karena ada putusan pengadilan tapi bukan karena perbuatan seperti didakwakan…sebagai penegak hukum harus taat hukum. Ada adagium hukum bahwa putusan hakim kalaupun salah harus dianggap benar.”
Istri Antasari Azhar, Ida Laksmiwati, saat diwawancara KompasTV juga berkata menyerahkan kepada masyarakat yang menilai. Ida juga mengutip Antasari Azhar bahwa menyerahkan Allah yang menghukum mereka yang bersalah karena sudah berusaha menegakkan hukum dan selalu kalah.
Bahkan Ida ketika diminta pendapatnya mengenai hukum di Indonesia menyiratkan kekecewaan bahwa hukum kita belum bisa ditegakkan seadil-adilnya padahal usaha peninjauan kembali perkara sudah dilakukan.
Antasari pun berkali-kali menegaskan dalam wawancara media, katanya, jangan tanya saya lagi soal kasus, kita lihat saja bagaimana cara Allah menghukum mereka.”Ini bukan ungkapan dendam,” lanjutnya.
Keikhlasan memang menenteramkan dan menjadi bekal terbaik untuk bisa melanjutkan perjalanan hidup selama masih diberikan hidup. Namun apakah ada tuntutan dari pihak lain, untuk Antasari mengungkap fakta yang katanya diketahui olehnya, membongkar kebenaran, akan menyeretnya lagi ke dalam kasus yang sudah “memenjarakannya” tujuh tahun enam bulan? Ini menjadi pertanyaan yang tak perlu terburu-buru menjawabnya, karena sepertinya masih ada pihak yang belum puas atau barangkali media juga punya kepentingan untuk terus menggali informasi ini, atas nama mengungkap kebenaran.
Sebagai warga biasa, sebagai orang yang memahami bagaimana beratnya ikhlas menjalani ketentuan Tuhan, apa pun itu, dan harus menata hidup baru usai menjalani ketentuan Tuhan, saya hanya bisa bilang semoga keikhlasan Antasari Azhar terus terpelihara dengan keluarga yang menguatkan. Pada akhirnya kembali kepada keluarga yang ikhlas dan kuat. Apakah akan “terseret” lagi? Biar waktu yang menjawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar