Senin, 07 November 2016

Penulisan - Tanggapan Mengenai Kasus Jessica

PENDAPAT TENTANG KASUS JESSICA – MIRNA


Sebanyak 32 kali persidangan telah diselesaikan dari awal hingga putusan majelis hakim terhadap Jessica Kumala Wongso atas perkara kematian Wayan Mirna Salihin. Jessica akhirnya divonis hukuman 20 tahun penjara atau sesuai dengan tuntutan yang diajukan jaksa penuntut. 

Kasus ini bermula dari pertemuan antara Jessica, Mirna, dan Hanie Boon Juwita di Kafe Olivier Grand Indonesia pada 6 Januari 2016. Jessica memesan tempat dilayani resepsionis bernama Cindy yang menawarkan meja nomor 54. Jessica kemudian meninggalkan lokasi dan kembali lagi membawa tas kertas lalu memesan es kopi Vietnam dan dua koktil. 


Jessica membayar seluruh pesanan dan minuman diantarkan oleh penyaji ke meja nomor 54. Beberapa saat kemudian Mirna dan Hani datang secara bersamaan, setelah saling menyapa ketiga wanita itu duduk. 


Mirna meminum es kopi Vietnam yang sudah tersedia di meja setelah bertanya kepada Jessica siapa pemilik minuman itu. Mirna sempat mengatakan bahwa rasa es kopi Vietnam itu begitu tidak enak sambil mengibaskan tangan di depan mulutnya. Beberapa saat kemudian tubuh Mirna kejang, tidak sadarkan diri, kemudian mengeluarkan buih dari mulutnya. 


Mirna dibawa ke sebuah klinik di Grand Indonesia menggunakan kursi roda. Kemudian, suami Mirna, Arief Soemarko, datang untuk membawanya ke Rumah Sakit Abdi Waluyo menggunakan mobil pribadi. Jessica dan Hanie menemani Arief memboyong Mirna ke rumah sakit itu. 


Sayang, nyawa Mirna tak tertolong dan dinyatakan meninggal dunia di Rumah Sakit Abdi Waluyo. Setelah keluarga datang, dan ayah Mirna Edi Dharmawan Salihin bergegas melaporkan kematian anaknya ke Polsek Metro Tanah Abang karena dinilai tewas tidak wajar.

Setelah melapor, Dharmawan Salihin tidak langsung mengizinkan polisi mengautopsi jenazah Mirna. Tiga hari setelah kematian, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Krishna Murti, berbicara dengan Dharmawan Salihin agar mengizinkan anaknya diautopsi. Namun, ternyata Mirna tidak diautopsi, melainkan hanya diambil sampel dari bagian tubuhnya saja untuk diteliti. 


Pada 10 Januari 2016, jenazah Mirna dikebumikan di Gunung Gadung, Bogor, kemudian hasil pemeriksaan sampel menemukan zat racun di dalam tubuh Mirna yang membuat lambungnya korosif sehingga tewas dalam hitungan menit setelah menelan es kopi itu.

Pra-rekonstrsuksi hingga penetapan tersangka

Satu hari setelah Mirna dikubur, polisi menggelar pra-rekostruksi di Kafe Olivier. Jessica, Hanie, dan pegawai Olivier dihadirkan untuk memperagakan kembali hal-hal yang terjadi pada 6 Januari 2016, mulai dari kedatangan Jessica hingga Mirna kejang. 


Pertengahan Januari, Puslabfor Mabes Polri mengumumkan bahwa terdapat racun diduga sianida di dalam kopi Mirna dan ditemukan juga di lambung Mirna. Penyidik Polisi kemudian memanggil Jessica untuk diperiksa karena telah memesan minuman untuk Mirna.  

Jessica kembali dipanggil penyidik untuk diperiksa psikiater pada 20 Januari 2016. Saat itu Jessica terlihat sangat tenang kala menghadapi wartawan yang menunggunya seharian penuh hingga selesai pemeriksaan. Keluarga Mirna antara lain Dharmawan Salihin, Sendy Salihin (saudari kembarnya) dan Arief Sumarko juga ikut diperiksa satu hari setelah Jessica. 


Penyidik akhirnya membawa berkas kasus Mirna ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada 26 Januari 2016, namun berkas itu dikembalikan ke penyidik agar dilengkapi. Gelar perkara dilakukan pada 29 Januari 2016 dan menetapkan Jessica sebagai tersangka pembunuhan Mirna. Polisi menangkap Jessica pada 30 Januari di sebuah hotel di Jakarta Utara. 


Rekonstruksi dan Praperadilan


Pada bulan Februari 2016 polisi menggelar serangkaian rekonstruksi tewasnya Wayan Mirna di Kafe Olivier. Jessica menolak memperagakan adegan rekonstruksi yang dianggap sebagai "versi polisi". Beberapa hari setelahnya rekonstruksi, Jessica menjalani tes kejiwaan di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo untuk mengetahui pribadi dan motif.

Pertengahan Februari 2016, penasihat hukum Jessica mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena penetapan tersangka kepada Jessica dianggap tidak sah. Sejalan dengan proses pengajuan praperadilan itu, penyidik Polda Metro Jaya melimpahkan berkas perkara Jessica ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. 


Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menggelar sidang pertama praperadilan atas penetepan tersangka yang dilakukan Polda Metro terhadap Jessica. Namun upaya praperadilan Jessica kandas setelah PN Jakarta Pusat menolaknya karena dianggap salah alamat. 


Akhir Maret 2016 kepolisian meminta perpanjangan masa tahanan terhadap Jessica sampai akhir April 2016 karena berkas perkara dinyatakan belum lengkap oleh Kejaksaan Tinggi DKI. 


Setelah satu bulan berlalu, berkas perkara belum juga dinyatakan lengkap oleh kejaksaan sehingga penyidik kepolisian meminta lagi perpanjangan masa penahanan selama 30 hingga akhir Mei 2016. 


Kejaksaan Tinggi DKI akhirnya menerima berkas perkara dari penyidik kepolisan pada dua hari menjelang berakhirnya masa penahanan Jessica pada akhir Mei 2016. Berkas yang dinyatakan lengkap (P21) menandai dimulainya proses persidangan Jessica. 


Persidangan perdana dan para saksi kunci

Sidang perdana Jessica digelar 15 Juni 2016 dengan agenda pembacaan eksepsi oleh pengacara Jessica Kumala Wongso. Dalam nota keberatan yang dibacakan Sordame Purba, disampaikan beberapa kejanggalan yang dirasakan terdakwa dan kuasa hukum. Jaksa menyebut dakwaan jaksa terhadap kliennya terlalu dangkal untuk tuduhan pembunuhan berencana.

Pada 28 Juni 2016, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak seluruh eksepsi yang diajukan kuasa hukum Jessica karena menurut hakim, dakwaan yang disusun jaksa telah lengkap dan jelas. 


Persidangan dilanjutkan pada 12 Juli 2016 di mana para keluarga Mirna memberikan keterangan antara lain Edi Dharmawan Salihin, Arief Soemarko dan Sendy Salihin. Keterangan yang diberikan ketiga saksi itu mengarahkan kecurigaan kepada Jessica yang bertindak aneh setelah Mirna meninggal dunia. 


Saksi kunci, Hanie Juwita Boon, dihadirkan pada persidangan tanggal 13 Juli 2016. Hanie yang sempat mencicipi es kopi Vietnam merasakan rasa panas di lidah. Ia juga menceritakan situasi saat datang bersama Mirna, bertemu Jessica, Mirna kejang hingga dibawa ke RS Abdi Waluyo. 


Pegawai Kafe Olivier dan ahli dari jaksa
 

Persidangan untuk menghadirkan pegawai Kafe Olivier digelar sebanyak empat kali antara lain tanggal 20, 21, 27 dan 28 Juli 2016. Saksi-saksi yang dihadirkan antara lain Aprilia Cindy Cornelia (resepsionis), Marlon Alex, Agus Triyono (pelayan), Rangga Dwi (barista), Yohanis (bartender), Devi (manajer kafe) dan pegawai Olivier lainnya. 


Dari seluruh keterangan yang diberikan, tidak satu pun pegawai Olivier yang melihat Jessica memasukan sesuatu ke dalam gelas kopi es Vietnam yang diminum Mirna. Sejumlah pegawai Olivier hanya melihat warna es kopi yang semestinya cokelar berubah menjadi kuning. 


Setelah menghadirkan saksi pegawai Kafe Olivier, jaksa penuntut umum menghadirkan sejumlah ahli di antaranya dokter forensik Slamet Purnomo yang menegaskan Mirna meninggal keracunan sianida karena ada 0,2 miligram per liter sianida di lambung Mirna.

"Yang menyebabkan kematian adalah sianida apalagi dalam lambung (Mirna) ditemukan zat itu," kata Slamet Purnomo di PN Jakarta Pusat kemudian menambahkan terdapat korosif di lambung Mirna hingga muncul bercak-bercak hitam bekas pendarahan. 


Pada 10 Agustus 2016, ahli digital forensik Mabes Polri, AKBP Muhammad Nuh Al Azhar, membuka rekaman kamera pengawas (CCTV) yang memperlihatkan Jessica membuka tas menggunakan kedua tangan pada pukul 16.29.50 WIB kemudian kepala Jessica menoleh ke kiri dan kanan pada satu menit kemudian. Pada rekaman CCTV juga terlihat Jessica seperti sedang menggaruk tangan. 


Persidangan 15 Agustus 2016, psikolog Antonia Ratih Andjayani menyebut Jessica sosok cerdas dan tenang namun memiliki kepribadian narsis yang seringkali menggunakan kebohongan untuk berdalih. Tiga hari kemudian, jaksa menghadirkan psikiater forensik Natalia Widiasih Raharjanti yang menyatakan Jessica berisiko melakukan kekerasan terhadap diri sendiri maupun orang lain jika tertekan.

Pada persidangan pekan berikutnya dihadirkan toksikolog forensik I Made Gelgel yang menyatakan Mirna tewas karena sianida. Di hari yang sama turut hadir pakar hukum pidana, Edward Omar Sharif, yang menjelaskan dalam Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana tidak diperlukan motif dan pembuktian hukumnya bisa saja tidak menggunakan bukti langsung.

Kriminolog Ronny Nitibaskara pada persidangan awal September 2016 bilang Jessica memiliki kepribadian yang berpotensi menyakiti orang lain. Adapun ahli psikologi Universitas Indonesia Sarlito Wirawan menduga Jessica penyuka sesama jenis.

Ahli dari penasihat hukum Jessica


Penasihat hukum Jessica menghadirkan beberapa ahli guna memberikan penjelasan kepada majelis hakim bahwa kliennya tidak bersalah dalam tewasnya Mirna. Ahli psikologi Universitas Indonesia, Dewi Taviana Walida Haroen, mengutarakan bahwa sifat amorous narcissist yang dimiliki Jessica bukanlah faktor atau kecenderungan yang mendorong aksi pembunuhan.  

Ahli Psikiater Klinis RS Marzuki Mahdi Bogor, Irmansyah, menjelaskan bahwa kecil kemungkinan Jessica Kumala Wongso melakukan pembunuhan terhadap Wayan Mirna lantaran merasa sakit hati. 


Saksi ahli teknologi informasi dan digital forensik dari Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar, menduga rekaman CCTV dari Kafe Olivier yang menampilkan Jessica menggaruk tangan telah melalui proses rekayasa tempering atau mencerahkan pixel pada video. 


Sebelumnya, ahli toksikologi kimia Universitas Indonesia Dr. rer. nat. Budiawan mengatakan sisa sianida di lambung Wayan Mirna Salihin adalah hasil dari proses alamiah atau postmortem. 


Direktur Pemasaran PT Kia Mobil Indonesia, Hartanto Sukmono, juga memberikan kesaksian pada pukul 16.00 WIB tanggal 6 Januari 2016 melihat Jessica di kafe tersebut tengah berdiri dan menggunakan sambungan telepon melalui ponselnya.

Ahli patologi forensik asal Australia, Profesor Beng Beng Ong, ahli patologi forensik Djaja Surya Atmadja, dan ahli toksikologi Budiawan, mengatakan hal yang sama bahwa penyebab kematian Mirna hanya bisa diketahui dengan autopsi. Mereka juga meragukan kematian Mirna disebabkan oleh sianida.

Keterangan Jessica


Jessica diperiksa dalam persidangan pada 28 September 2016. Jessica mengaku tidak pernah menuangkan apa pun ke dalam kopi es vietnam yang diminum Mirna. Jessica juga menjelaskan alasan enggan mencicipi kopi es vietnam yang diminum Mirna, yakni lantaran sebelumnya korban telah mengatakan bahwa rasa kopi itu tidak enak. Jessica juga mengaku tidak pernah menyentuh es kopi vietnam tersebut. 


Tuntutan Jaksa


Pada 5 Oktober 2016 jaksa penuntut umum (JPU) berketetapan memberikan tuntutan hukuman 20 tahun penjara kepada Jessica dengan alasan tewasnya Mirna memberikan kesedihan yang mendalam. Jaksa bahkan menyatakan bahwa Jessica melakukan aksi pembunuhan yang keji dan sadis dengan racun untuk menewaskan Mirna.

Pleidoi

Jessica membacakan nota pembelaan (pleidoi) berisi curahan hatinya selama 12 menit pada persidangan tanggal 12 Oktober 2016. Jessica membaca pleidoinya dengan suara parau sambil menahan tangis dengan menyampaikan bahwa ia tidak membunuh Mirna dan hidupnya sangat menderita di sel tahanan. 


Otto Hasibuan, pengacara Jessica, dalam nota pembelaan (pledoi) setebal tiga ribu lembar pada persidangan itu meragukan keaslian barang bukti yang menyudutkan posisi kliennya. Pengacara kembali menegaskan kematian Mirna bukan karena sianida dan meminta majelis hakim menolak bukti rekaman CCTV karena dianggap tidak sah. 


Replik


Pada replik tanggal 17 Oktober 2016, jaksa penuntut menyatakan nota pembelaan yang disampaikan tim kuasa hukum Jessica Kumala Wongso hanya berisi keterangan spekulatif karena dipenuhi asumsi tak berdasar dan kering dari sumber hukum untuk menopang argumentasi kuasa hukum. Jaksa juga menyindir Jessica yang menangis saat membacakan pleidoi dan ruang tahanan Jessica yang dianggap mewah.

Duplik

Duplik digelar pada 20 Oktober untuk menanggapi replik yang disampaikan Jaksa. Dalam duplik itu, Jessica menjelaskan foto-foto sel mewah yang ditampilkan jaksa dalam replik bukanlah sel tahanan melainkan ruang konseling di Polda Metro Jaya. Jessica juga mengaku cemas akan adanya intervensi dalam pengadilan karena keluarga Mirna dinilai dekat dengan jaksa. 


Jessica menyebutkan informasi dari seseorang bernama Amir Papalia yang melihat adanya pertemuan antara diduga Arief Soemarko dengan barista Olivier, Rangga Dwi Saputra, di Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, satu hari sebelum Mirna meninggal. 


Di bagian akhir duplik, Otto Hasibuan memohon kepada Presiden RI Joko Widodo untuk menjadikan kasus Jessica sebagai momentum reformasi hukum. "Bapak presiden, kami mohon dan juga mengusulkan jadikanlah kasus ini sebagai momentum untuk reformasi penegakkan hukum, momentum reformasi hukum," kata Otto.

Putusan hakim


Pada 27 Oktober 2016, majelis hakim menyatakan Jessica Kumala Wongso terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana dalam perkara tewasnya Wayan Mirna Salihin dan menjatuhkan vonis hukuman 20 tahun penjara, sama dengan tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. 


Hal yang memberatkan terdakwa, menurut hakim, perbuatan terdakwa mengakibatkan Mirna meninggal dunia dan perbuatan terdakwa terbilang keji dan sadis.

Jessica dan kuasa hukum menyatakan akan mengajukan banding terhadap putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis hukuman 20 tahun penjara.

Menurut saya, kasus Mirna yang sangat heboh diberitakan saat ini, merupakan pola pikir yang diatur dari media, dimana kasus demi kasus begitu dibeberkan dengan kemasan yang sedemikian rupa sehingga merajai pemberitaan untuk waktu yang cukup lama. Dalam sejarah Indonesia, baru kali ini seseorang melakukan sidang hingga mencapai 31 kali. Mengalahkan isu politik lain yang sebenarnya lebih penting dibandingkan kasus ini, tapi yang saya tidak mengerti adalah kenapa media begitu menyorot kasus yang satu ini? Berbagai orang berpendapat tentang Kompetensi Hukum di Indonesia, para pembaca yang kontra terhadap Jesica merasa tidak puas dengan keputusan hakim karena pembuktian fakta kurang maksimal, sedangkan di sisi lain para Pro Jesica menyanggah bahwa tidak pernah ada bukti yang kuat untuk menjerat Jesica.
Berbeda lagi dengan para pengamat yang lebih objektif, mereka menganggap bahwa kasus ‘kopi sianida’ ini malah cenderung mempermainkan opini publik dibandingkan pembuktian fakta. Bisa dilihat dari panjangnya proses persidangan, saksi ahli dan lain sebagainya kasus ini malah terlihat seperti sinetron kata para anak muda yang menontonya. Jesica mendatangkan saksi ahli dari luar negeri, dan sebegitu banyaknya lalu pada akhirnya dia tetap terjerat pula karena tidak bisa membuktikan secara nyata kalau dia tidak bersalah.

Kasus tersebut bahkan megalihkan masyarakat pada kasus yang sebenarnya jauh lebih penting dari pada Jesica. Disini kita bisa lihat begitu mudahnya bangsa Indonesia terpengaruh oleh media, opini publik yang belum tentu kebenaranya ditelan mentah-mentah membuat masyarakat kacau antara pro dan kontra.